http://materialize-template-gisariweb.blogspot.com/
http://materialize-template-gisariweb.blogspot.com/2016/02/dilema-sang-arsiparis.html
item

Dilema Sang Arsiparis

Dilema Sang Arsiparis

Jumat, 12 Februari 2016


“Sudah berulang kali aku beritahu aku nggak mau mencuri,” kataku pada istriku yang terus saja mengomel minta dibelikan kalung. Sudah satu minggu ini aku diomeli oleh istriku yang minta dibelikan kalung emas yang bobotnya tidak lebih dari dua gram. Bukanya aku pelit tapi aku memang tidak punya uang untuk membelikannya.

Sebagai pegawai negeri golongan dua yang gajinya hanya cukup untuk biaya kehidupan sehari-hari, itupun dengan asumsi tidak ada yang sakit di antara anggota keluargaku, karena apabila ada yang sakit, dijamin gajiku bakal kurang. Dengan dua anak yang masih kecil-kecil aku pun harus waspada terhadap segala bentuk rayuan barang-barang sekunder yang berusaha memoroti gajiku tiap bulannya.

“Mas, bu Edi tadi barusan cer
ita pada saya habis dari pasar pagi tadi, dia menunjukkan kalung yang dulu aku minta pada mas untuk membelikannya, akhirnya ia yang memilikinya. Padahal pak Edi kan sama golongannya dengan mas di PNS, sama-sama golongan dua,” Istriku mengadu sore itu padaku. Istriku memang belum menyadari betul-betul bahwa rejeki orang itu berbeda-beda walaupun toh sama jenis pekerjaannya. Pekerjaan bisa ditiru, cara bekerja bisa ditiru tapi urusan rejeki nanti dulu.

Apalagi ditambah jabatanku hanyalah seorang arsiparis yang bagi sebagian pegawai negeri sipil adalah pekerjaan yang sering diberikan pada orang-orang buangan di lingkungan kerjanya. Arsiparis hanyalah seorang penanggung jawab urusan kertas-kertas berdebu. Itulah yang disangkakan kebanyakan rekan-rekan kerjaku.

Pagi ini aku berada di kantor seperti biasa seolah tak ada masalah apa-apa di rumah dan memang urusan di rumah, tidak etis kalau dibawa-bawa ke kantor. Teman-teman juga demikian saling bergurau tentang hal yang jorok sampai hal yang kadang-kadan tidak bisa lagi untuk ditertawakan karena terlalu jorok.

“Nes, rambutmu basah sekali hari ini, berapa kali tadi malam kau bertempur, K.O ya,” Edi dengan senyum terkekeh menggoda Ines teman kantorku yang baru saja menjadi pengantin. Baru seminggu ia menikah dengan rekan sesama pegawai tetapi dari instansi yang berbeda. Ines yang digoda hanya bisa menjawab dengan tersenyum disertai muka yang memerah.

Selain Ines di kantorku juga ada lagi yang sering jadi bahan godaan yaitu Bu Sari yang memang terkenal genit walaupun sudah punya cucu. Tapi memang dasar orangnya agak lumayan juga untuk ukuran wanita paruh baya seperti Bu Sari. Rambutnya saja masih direbounding seperti gadis-gadis belasan tahun. Kebetulan juga ia belum genap satu tahun menjanda jadi rekan-rekanku di kantor makin semangat menggoda.

Bu Sari adalah pegawai buangan di kantorku. Dianggap buangan karena ia dimutasi ke tempat kerjaku yang terkenal kering. Ia terkena kasus penggelapan dana proyek dan untung tidak sampai di penjara karena keburu ketahuan rekan sesama kantornya. Memang di kantor orang sering lebih banyak berguraunya daripada bekerja, terlebih lagi kantor pemerintah.

Dan itulah efek dari penempatan pegawai yang tidak efisien apalagi untuk dikatakan efektif. Bisa dilihat dari contoh berikut, seorang insinyur harus menempati bagian dokumentasi sebuah institusi pemerintah yang berkaitan dengan dunia perpustakaan, hanya dengan alasan agar seorang pegawai berpengalaman di segala bidang. Ada lagi yang lebih lucu di mana seorang sarjana bahasa ditempatkan di bagian keuangan. Tapi itulah dunia lembaga pemerintah yang hampir sebagian besar pejabatnya mempunyai kredo yang manjur; ALA BISA KARENA BIASA, hebatkan.

Sedangkan aku memang sudah sejak semula ditempatkan di kantor kearsipan ini. Sebagaimana latar belakang pendidikanku yaitu alumni Diploma tiga Kearsipan dari sebuah Universitas di Yogyakarta. Pada mulanya aku membayangkan ketika pertama kali aku masuk diterima CPNS aku akan selalu bersinggungan dengan dunia arsip. Dunia yang membuatku jatuh cinta dengan sejarah dan perkembangan informasi. Namun, apa yang terjadi ketika aku mendapat sk penugasan dari kepala di Instansi tempat aku ditempatkan ternyata aku diperbantukan di bagian keuangan mendampingi seniorku. Bisa dibayangkan betapa terasingnya aku dengan pekerjaanku ketika pertama kali aku masuk dinas di pemerintahan sebagai pegawai negeri sipil. Dan memang kegiatan administrasi keuangan lebih dipentingkan dan lebih banyak menyita waktuku dari pada dengan tupoksiku sebagai seorang arsiparis, yaitu mengelola arsip dan informasi.

Keadaan inilah yang membuatku repot, istriku menganggap suaminya ini adalah pengelola keuangan bukan pengelola arsip jadi bisa bisa mendapat penghasilan berlebih. Bagian keuangan tempat mengelola keuangan tentu banyak rekayasa yang berkaitan dengan rupiah. Sialan. Aku menyesali keadaanku sekarang yang semakin mendekatkan aku dengan dunia curi mencuri. Apes.

Sebenarnya urusan merekayasa nominal yang dalam istilah kerennya mark up sudah hampir bisa dikatakan lazim atau biasa. Biasanya alasan yang dikatakan teman-teman adalah tidak mungkin kalau kita hanya mengandalkan gaji untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Jadinya ya begitulah sejak Indonesia merdeka sampai sekarang ini mental pegawai ya begitu itu, harus pintar ngobyek dan patuh sama atasan.

“Begitu kita mendapat Nomor Induk Pegawai kita ini sudah masuk ke dalam lingkaran setan, Bud,” kata Deni seniorku ketika aku mencoba berkeluh kesah tentang perilaku pegawai negeri dengannya. Aku pun tidak menyalahkan atau membantah komentarnya.

“Kalau kamu tidak mau mencuri ya jangan jadi pegawai negeri, ngaji saja di rumah,” lanjutnya waktu itu.

Semenjak ngobrol dengan Deni itulah dibenakku sering timbul pertanyaan apakah semua pegawai yang korup suka mencuri uang anggaran kegiatan itu merupakan watak bawaan atau karena ada faktor lain, keluarga misalnya. Bisa saja karena gajinya kurang untuk menopang hidupnya. Sebenarnya gaji tersebut tidak kurang tapi habis hanya untuk membayar angsuran di bank sehingga yang dibawa pulang biasanya tinggal sepertiganya. Dan biasanya uang hutang itupun hanya untuk biaya konsumsi yang tidak penting.

Kenyataan yang ada pun banyak juga pegawai yang gajinya besar tapi masih saja mencuri alias korupsi. Kalau yang demikian ini aku termasuk salah satu orang yang menyangsikan bahwa untuk menghentikan korupsi di lingkungan pegawai negeri harus dengan jalan menaikkan penghasilannya. Karena kenyataan yang ada, korupsi disebabkan karena nafsu konsumtif yang menggebu-gebu lah penyebabnya.

Seperti halnya isteriku yang sebulan ini terus merengek minta perhiasan padahal ia sudah memakai perhiasan adalah wujud konsumtifisme buta yang menggoda suaminya untuk mencuri-curi uang tambahan. Sudah sejak pertama kali jadi pegawai aku sudah menyadari gaji yang akan kudapatkan hanya cukup untuk hidup sederhana selama sebulan dan sudah pula kusadari resiko kekurangan gajiku.itu.

“Sudahlah, dik, gajiku tidak cukup untuk kebutuhan sekunder itu, jangan memancing saya untuk mencuri uang kantor,” alasanku yang kesekian kali ketika ia terus menagih untuk dibelikan kalung.

“Masak kerja di Bagian Keuangan mas nggak dapat uang sampingan,” rengeknya bersungut-sungut.

“Sumber pendapatan kita hanya satu, lagian aku hanyalah seorang arsiparis bukan staf keuangan seperti yang kamu sangka, ya gaji itu, tidak ada yang lain, kamu kan masih memakai cincin mas kawin kita, itu kan masih pantas, tho .” bujukku.

Bila ku pikir-pikir apakah benar bahwa pejabat yang suka mencuri itu memang berwatak pencuri atau kah mereka mencuri karena sebab-sebab lain yang tak kuketahui, istri yang terlewat konsumtif misalnya. Atau mungkin mereka salah pergaulan, misalnya teman sehari-harinya ialah pengusaha kaya yang gaya hidupnya pasti perlu biaya tinggi, jadi kalau hanya sekedar mengandalkan gaji pasti ketinggalan dengan temannya yang pengusaha itu.

“Orang hidup itu perlu perhitungan matang. Baik dalam segi materi maupun non materi harus cermat mengelola hidup kalau tidak ya kita pasti kalang kabut.” Begitu petuah pak Imam ketika sore itu aku dating ke rumahnya untuk meminjam uang. Pak Imam adalah guruku SD ia terkenal sebagai pengusaha di desaku yang dermawan dalam memberikan pinjaman. Walaupu ia hanya lulusan SD tapi kegigihannya dalam bekerja sejak kecil menjadikannya ia sebagai pengusaha di bidang perikanan. Banyak pabrik di kota yang membutuhkan pasokan ikan darinya. Di sela sela kesibukannya sebagai guru ia masih mengurusi beberapa pengepul ikan yang menyetor ikan padanya.

“ Maaf, pak, anu….. gajiku habis, sedang bulan baru dua puluh hari berjalan,” jawabku ketika pak Imam bertanya tentang alasanku mau menghutang lagi padanya. Walaupun dengan bayak petuah yang membuatku merasa semakin mejadi orang bodoh saja pak Imam pasti memberiku pinjaman untuk kebutuhan sehari-hari yang memang kurang, terutama bila ada anggota keluargaku yang kebetulan sakit.

Dengan perasaan campur aduk antara sedih dan lega, aku pulang ke rumah. Bayangan sakitnya anakku melintas terus di benakku. Langkahku semakin kupercepat. Tak lupa aku mampir ke apotik untuk membeli sirup penurun panas. Uang hasil pinjaman masih tersisa separuh, cukup untuk sepuluh hari ke depan.

Sumber : http://guslitera.blogdetik.com/2015/12/10/dilema-sang-arsiparis-2

Iklan
Unknownhttps://www.blogger.com/profile/04217271104478267995
0 0 http://materialize-template-gisariweb.blogspot.com/2016/02/dilema-sang-arsiparis.html http://materialize-template-gisariweb.blogspot.com/2016/02/dilema-sang-arsiparis.html Tidak ada komentar:

Kontributor