http://materialize-template-gisariweb.blogspot.com/
http://materialize-template-gisariweb.blogspot.com/2016/01/
archive
Hutang Yang Tak Terbayar
Kali ini ada pertanyaan menarik dari salah satu sahabat saya. Ia bertanya, “Mba, ada seseorang berhutang uang pada saya. Sudah berulang kali saya sindir-sindir kalau lagi ketemu, tapi tuh orang kayaknya gak sadar berhutang sama saya. Boro-boro mengembalikan, giliran saya meminjam uang saat saya perlu dia malah marah. Terus saya ingatkan kalau hutangnya belum lunas, eh… dia ngotot bilang sudah pernah mengembalikan. Gimana caranya ya Mbak?”

Waktu menjawab pertama, saya sedikit bercanda untuk mengurangi ketegangannya. “Yaaah, saya juga gak tahu, Mba Mil. Saya kan bukan debt collector. Jadi gak tahu caranya.”

close Hutang Yang Tak Terbayar
Kali ini ada pertanyaan menarik dari salah satu sahabat saya. Ia bertanya, “Mba, ada seseorang berhutang uang pada saya. Sudah berulang kali saya sindir-sindir kalau lagi ketemu, tapi tuh orang kayaknya gak sadar berhutang sama saya. Boro-boro mengembalikan, giliran saya meminjam uang saat saya perlu dia malah marah. Terus saya ingatkan kalau hutangnya belum lunas, eh… dia ngotot bilang sudah pernah mengembalikan. Gimana caranya ya Mbak?”

Waktu menjawab pertama, saya sedikit bercanda untuk mengurangi ketegangannya. “Yaaah, saya juga gak tahu, Mba Mil. Saya kan bukan debt collector. Jadi gak tahu caranya.”

Minggu, Januari 31, 2016
Papamu Untukku Saja
Arisa terlonjak saat suara pintu dibanting keras. Dadanya berdegup kencang. Kakinya yang tadi asyik mengetuk lantai mengikuti irama musik pop Korea yang disetel Cinta langsung terdiam kaku. Ini bukan hal baru baginya mendengar bantingan pintu seperti itu. Tapi tiap kali Cinta melakukannya, ia tetap saja selalu terkejut. Dari kursi yang ia duduki, Arisa menatap Cinta yang masuk ke dalam kamarnya dengan bersungut-sungut.

“Gak boleh, Ris! Papa bilang sudah kesorean. Entar kita kemalaman di jalan,” ujar Cinta dengan bibir melengkung.

“Ya sudah, gak papa kok Cin. Besok saja. Kan masih sempat. Waktunya masih lama.”
“Iih, tapi aku gak yak
close Papamu Untukku Saja
Arisa terlonjak saat suara pintu dibanting keras. Dadanya berdegup kencang. Kakinya yang tadi asyik mengetuk lantai mengikuti irama musik pop Korea yang disetel Cinta langsung terdiam kaku. Ini bukan hal baru baginya mendengar bantingan pintu seperti itu. Tapi tiap kali Cinta melakukannya, ia tetap saja selalu terkejut. Dari kursi yang ia duduki, Arisa menatap Cinta yang masuk ke dalam kamarnya dengan bersungut-sungut.

“Gak boleh, Ris! Papa bilang sudah kesorean. Entar kita kemalaman di jalan,” ujar Cinta dengan bibir melengkung.

“Ya sudah, gak papa kok Cin. Besok saja. Kan masih sempat. Waktunya masih lama.”
“Iih, tapi aku gak yak
Sabtu, Januari 30, 2016
I Wanna Be Emak : Walau Hanya Hobi
Jemari Emak sibuk menggambar garis-garis simetris membentuk gambar infografis yang ia mau. Walaupun tampak jelek, Emak tak peduli. Ia hanya ingin memberi gambaran kepada Ningsih dan Fadil, dua karyawan baru di bagian creative yang sedang di-trainingnya.

“Nanti kamu kasih shadingnya di sini, di sini dan di sini,” kata Emak sambil terus menggambar.

“Terus gimana caranya saya buat kotak ini supaya ngelipat gitu, Bun?” tanya Fadil.

Kali ini Ningsih yang menjawab, “ya tinggal diwarp aja kan, Bun?”

Emak hanya mengangguk kecil. Lalu setelah selesai, Fadil mengambil alih tempat duduknya dan Emak berdiri di belakang. Sesekali ia memberi instruksi dengan menunjuk layar berukuran 14 inch itu. Sesekali Ningsih dan Fadil bertanya, terkadang Emak yang menjawab, lain kali mereka berdua sendiri yang saling m
close I Wanna Be Emak : Walau Hanya Hobi
Jemari Emak sibuk menggambar garis-garis simetris membentuk gambar infografis yang ia mau. Walaupun tampak jelek, Emak tak peduli. Ia hanya ingin memberi gambaran kepada Ningsih dan Fadil, dua karyawan baru di bagian creative yang sedang di-trainingnya.

“Nanti kamu kasih shadingnya di sini, di sini dan di sini,” kata Emak sambil terus menggambar.

“Terus gimana caranya saya buat kotak ini supaya ngelipat gitu, Bun?” tanya Fadil.

Kali ini Ningsih yang menjawab, “ya tinggal diwarp aja kan, Bun?”

Emak hanya mengangguk kecil. Lalu setelah selesai, Fadil mengambil alih tempat duduknya dan Emak berdiri di belakang. Sesekali ia memberi instruksi dengan menunjuk layar berukuran 14 inch itu. Sesekali Ningsih dan Fadil bertanya, terkadang Emak yang menjawab, lain kali mereka berdua sendiri yang saling m
Sabtu, Januari 30, 2016

Jumat, 29 Januari 2016

Rumah Tangga : Bodoh & Idiot


Bingung seakan tak berujung saat mengaitkan dua alis mataku seakan-akan mereka bertemu kalau lagi berpikir keras seperti sekarang. Aku berharap kekuatan berpikirku akan bertambah dua kali lipat kalau melakukannya. Setidaknya aku bisa menemukan jawaban dari kebingungan yang berputar-putar memenuhi otak.

“Tante bodoh, ” jawab Tante Dessy spontan.

“Dan Om idiot, ” timpal Om Burhan menyusul istrinya. Sebelumnya keduanya tertawa bersamaan.

Maksudnya apa? Padahal aku bertanya apa rahasia kemesraan mereka yang seperti tidak pernah luntur walaupun waktu berlalu lebih dari tiga puluh tahun itu. Tapi mereka justru menjawab dengan dua kalimat singkat yang membingungkan itu. Sampai pagi ini pun, aku masih belum bisa memahami makna di balik jawaban itu.

“Pagi-pagi begini lagi mikir apa, Din?” Yang dipikirkan ternyata muncul di belakangku. Tampak santai dalam balutan piyama katun warna pink.

“Mikirin Tante sama Om,” jawabku sambil menyesap kopi di mug.

Tante menatapku. Matanya membulat. “Kami?” Lalu ia seperti teringat sesuatu. “Apa karena jawaban kami semalam?”

Aku menjawab dengan anggukan. Lagi-lagi Tante tertawa seperti semalam. Aku langsung merengut.

“Apa aku harus jadi orang bodoh kalau ingin mempertahankan pernikahanku dengan Amri?”

Tante tertawa makin geli.

“Tanteee!!”

Bukannya berhenti, Tante justru semakin tertawa geli.

“Ada apa sih? Becanda apaan?” Kepala Om Burhan muncul dari balik pintu dapur. Tak seperti Tante, Om Burhan sudah mengenakan pakaian kerja yang rapi. Kemeja warna biru muda pupus dipadu celana pantopel berwarna hitam membungkus tubuhnya yang mulai tambun. Tapi sisa-sisa ketampanan dan tubuh atletis yang terbiasa berolahraga masih terlihat jelas melekat pada lelaki yang hampir memasuki usia setengah abad.

“Ini loh, Mas. Si Dini nih… Dia mikirin jawaban kita semalam. Itu loh yang soal pernikahan. Terus dia malah nanya… apa aku harus jadi orang bodoh kalau ingin mempertahankan pernikahanku dengan Amri?” Tante Dessy menirukan gayaku yang dingin saat melontarkan pertanyaanku tadi. Kali ini malah Om Burhan yang terkekeh. Lelaki setengah baya itu mendekati istrinya.

“Aah… beneran. Dini bener-bener pengen tahu, Tan, Om. Malah ditertawai sih.”

Om Burhan menepuk bahuku. “Ya, jadilah orang bodoh untuk mempertahankan pernikahanmu, Din.” Ia pun menoleh pada istrinya dengan tatapan sayang. “Saya mau pergi dulu, Sayang.”

Tante Dessy mengangguk dan mereka keluar dari dapur.

Lagi-lagi aku termenung dalam kebingungan. Bodoh dan idiot. Mengapa harus kedua hal itu? Bahkan aku yang sudah menjalani pernikahan lebih dari lima tahun, tak bisa memahami maksud di balik kedua kata-kata itu.

Tapi, Tante Dessy dan Om Burhan adalah dua orang tua yang kuhormati setelah kedua orangtuaku sendiri. Hubungan mereka memang selalu mesra dan tak pernah berubah. Keduanya saling mendukung dan menerima satu sama lain. Satu saat mereka kehilangan satu-satunya putri tercinta saat baru berusia tiga tahun, hubungan mereka justru semakin kuat. Pernikahan mereka yang membuatku terinspirasi memiliki pernikahan yang seindah hubungan mereka. Itulah sebabnya aku memilih menikah di usia yang menurut orangtuaku sendiri masih sangat muda. Aku yakin, belajar dari pernikahan Tante Dessy dan Om Burhan akan membuatku bisa membangun pernikahan yang harmonis pula.

Hanya saja, menjalani pernikahan itu tak semudah mengkhayalkannya. Sulit sekali menyamakan pendapat apalagi mencapai kesepakatan dalam berbagai hal. Semakin aku mengenal Amri, semakin aku tahu kalau kami begitu berbeda. Bahkan kini, setelah lima tahun, aku sedang berpikir untuk mengakhiri pernikahan kami. Karena tak tahan lagi, aku memutuskan untuk berpisah dan tinggal sementara di rumah Tante Dessy sampai aku bisa menemukan jawaban apa yang ingin kulakukan. Tetap menikah atau bercerai darinya.

Semalam ketika aku menceritakan masalahku, Tante dan Om justru memberikan solusi yang membuatku keningku berkerut dan sekarang mereka menertawaiku.

Apa maksudnya?

***

“Din, kita harus bicara. Kita tak bisa begini terus.” Aku menunduk semakin dalam. Amri mengguncang pundakku.

“Aku tak mau bercerai, Din. Aku sayang kamu. Apapun yang terjadi, kita tak boleh berpisah.”

“Tapi aku tak tahan, Mas. Sudah lima tahun kita belum juga punya anak. Aku tidak tahan disindir terus menerus oleh orangtuamu. Dan kau tak pernah ada di rumah. Aku capek sendirian menghadapi sindiran keluargamu.”

“Ya Allah, Dini… aku kan kerja. Cuekin saja sindiran itu. Mereka sudah punya banyak cucu. Dulu kamu bisa menutup mata dan telinga untuk itu. Kenapa sekarang tidak?” kilah Amri tak mau kalah.

“Karena aku juga manusia, Mas. Aku tidak tahan! Pokoknya aku sudah tidak tahan! Kita bercerai saja!” ujarku lagi. Aku langsung menyesalinya.

“Astaghfirullah, Din. Istighfar. Jangan ulangi kata-kata itu! Itu tidak baik.” Tubuhku sendiri bergidik mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang meluncur begitu saja.

Aku menatap Mas Amri. Matanya yang teduh semakin sayu dan wajahnya terlihat lelah. Perasaan bersalah bergelayut dalam hatiku. Tapi dia memang bersalah. Andaikan ia lebih banyak menemaniku di rumah, mungkin Ibunya takkan sering menyiksaku dengan keinginannya menggendong anak yang akan kulahirkan. Lima tahun aku lalui dengan susah payah dan sekarang aku benar-benar tak tahan lagi.

“Maaf, Mas. Tapi sungguh… ada saatnya kita harus menyerah. Aku menyerah sekarang. Pulanglah. Aku capek,” bisikku pelan.

“Iya saya pulang sekarang. Tapi tolong, Din. Pikirkanlah soal kita. Aku sangat sayang padamu.” Mas Amri meraih kepalaku, mencium keningku dan memelukku erat sebelum keluar dari dalam kamar.

Aku juga kangen kamu, Mas. Kangen sekali. Tapi aku tidak ingin kembali ke rumah di mana Ibu dan Ayahmu menganggapku sebagai menantu dengan rahim mandul. Aku juga tak tega membayangkan dirimu tanpa anak seumur hidupmu padahal duniamu adalah dunia yang berhubungan dengan banyak anak-anak. Jika bisa membuatmu bahagia nantinya, aku rela mengorbankan segalanya untukmu, sayang.

***

“Kamu benar-benar bodoh, Din!”

Aku mendongak menatap Tisya. Bodoh? Barusan dia mengatakan aku bodoh?

“Kamu bodoh kalau menganggap perceraian yang hanya akan menguntungkan Amri sebagai jalan terbaik. Terus kamu dapat apa? Lima tahun kamu jadi istrinya. Kalau bukan karena kamu, mana mungkin Amri itu bisa jadi kayak sekarang? Dulu kan dia bandelnya setengah mati. Tapi setelah ngawinin kamu, dia jadi pegawai paling teladan di kantor. Sekarang setelah dia jadi Manager dan kalian bakal punya rumah sendiri, kamu mau bercerai hanya supaya dia bisa punya keturunan dari perempuan lain? Dasar bodoh!”

Aku tercenung. Bukan karena kata-kata Tisya. Tapi karena ia menyebutku bodoh. Kata-kata bodoh membuatku teringat resep Tante Dessy dan Om Burhan.

Bodoh? Apa maksudnya seperti ini? Apa karena Tante Dessy menganggap dirinya bodoh sehingga ia menutup segala kemungkinan memikirkan hal-hal ‘pintar’ yang bisa membuatnya terpisah dari Om Burhan?

Aku ingat salah satu keponakan yang terlahir dengan kebutuhan khusus. Ibunya tak menganggapnya idiot atau bodoh, walaupun semua orang menganggapnya seperti itu. Ia selalu bilang bahwa memiliki anak seperti itu adalah keberuntungan luar biasa. Anaknya selalu tertawa dan tersenyum menghadapi cemoohan dan hinaan orang lain di sekitar mereka. Anaknya takkan memikirkan apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya. Anaknya akan selalu bahagia dan senang. Itulah keberuntungan luar biasa yang tak dimiliki anak-anak lain. Ia tak memikirkan perasaan atau apa kata orang, ia berpikir dengan apa yang dirasakan oleh hatinya.

Aku memang terlahir cerdas. Terlalu cerdas malah. Semua orang tahu itu. Sampai aku tak memahami bahwa menjadi ‘bodoh’ sebenarnya bisa jadi menguntungkan. Andaikan aku tidak memahami maksud dan sindiran di balik sikap atau kata-kata mertuaku selama ini, andaikan aku bersikap masa bodoh pada apa yang mereka ucapkan dan semata-mata hanya memikirkan apa yang bisa membuat mereka tersenyum dan tertawa. Andaikan aku tak menganggap penting semua kata-kata orang lain. Andaikan aku sekali-sekali berpikir menggunakan hatiku sendiri. Andaikan… ya andaikan aku benar-benar seperti keponakanku. Aku tertawa pahit. Airmataku mengalir.

“Din? Dini, kamu baik-baik saja?”

Aku menatap Tisya. Mengangguk. Terima kasih Tisya. Kau membuatku memahami sesuatu. Sekarang saatnya menjadi orang bodoh itu.

***

Mas Amri terkejut. Ia bahkan langsung berdiri melihatku berdiri diam di balik dinding kaca yang membatasi ruang meeting dan lorong kantor. Tanpa peduli tatapan para staf yang kebingungan, Mas Amri langsung keluar menemuiku.

“Ada apa, Din? Ada apa? Kenapa menangis?” tanyanya panik, menyentuh pundakku. Dia memeriksaku dari wajah hingga kaki.

Aku menggeleng. Melemparkan senyum paling bodoh di dunia. Mulai sekarang aku ingin jadi si bodoh itu. Akan kututup semua indraku dari semua hal yang membuatku terpisah darinya.

“Aku ingin terus jadi istrimu, Mas. Aku akan jadi bodoh, tuli ataupun bisu. Aku sayang kamu, Mas.”

Mas Amri terpana. Sebelum akhirnya tersenyum. “Dinii… kamu ini… ” Ia menarikku masuk ke ruang kantornya sebelum para staf menyadari apa yang terjadi dan menertawai tingkah kami berdua.

Di dalam ruang kerjanya, Mas Amri memelukku dengan tidak sabar.

“Sebelum kamu bilang begitupun, aku sudah berencana melakukan banyak hal bodoh untukmu, Din. Aku bekerja keras supaya kita bisa tinggal berdua di rumah yang bagus. Tapi kalau itu membuatmu kesepian, aku akan berhenti bekerja kalau perlu. Bossku juga sudah bilang aku bodoh. Tapi aku tak bisa bekerja karena otakku penuh memikirkan cara membuatmu kembali. Syukurlah.. syukurlah…”

“Ya Allah, Mas. Maafin aku ya. Aku tak tahu kalau aku membuatmu begitu. Jangan, jangan berhenti kerja dulu. Kita belum mengganti mobil tua kita, Mas. Dan Mas kan belum pernah ngajak aku ke Bali. Tunggu, tunggu sampai Mas bisa ngajak aku bulan madu kedua ke Bali ya?” ucapku kalem.

Mas Amri tertawa terbahak-bahak dan ia mengangguk setuju.

*****

Ada saat kita menjadi bodoh atau pintar tergantung situasinya. Namun situasi dalam pernikahan itu sangat khusus. Kita harus menyatukan dua visi, dua tujuan, dua keinginan dan dua misi. Jika yang satu tidak dapat mempertimbangkan kebenaran atau kebaikan dari yang lain, maka keduanya tidak akan pernah bertemu. Jika setiap orang berpasangan selalu menganggap dirinya lebih benar atau lebih pintar dari pasangannya, maka sikap egoislah yang akan terjadi sehingga takkan ada cinta yang bisa dipersatukan.

Tak ada yang sempurna. Dalam kehidupan pernikahan, selalu ada onak dan halangan. Ketika kita tak bisa menutup mata dan telinga, bersabar dan masa bodoh terhadap kata-kata atau sindiran orang lain, maka selamanya kita akan terkurung oleh kata-kata itu sendiri.

Jadi kata ‘bodoh’ dan ‘idiot’ di sini bukan bermaksud untuk menghina diri sendiri atau pasangan, tapi menyiratkan pesan agar bisa ‘merendahkan’ diri untuk mengurangi perbedaan dan menghilangkan segala aspek negatif dari sikap dominan yang mungkin muncul untuk mengganggu keutuhan rumah tangga, dengan kata lain yaitu saling mengalah untuk kepentingan bersama.

http://bundaiin.blogdetik.com/2014/12/8/rumah-tangga-bodoh-idiot
0 0 http://materialize-template-gisariweb.blogspot.com/2016/02/rumah-tangga-bodoh-idiot.html http://materialize-template-gisariweb.blogspot.com/2016/02/rumah-tangga-bodoh-idiot.html Tidak ada komentar:

Aroma Masakan, Aroma Kerinduan

Suara takbir terus bergema di tengah kesunyian malam. Mesjid, musholla bahkan di keramaian anak-anak yang sedang berkumpul di depan rumah. Bunyi kaleng, galon air kosong bahkan beduk dadakan yang mereka buat dibunyikan serentak mengiringi takbir. Cahaya kelap-kelip kembang api juga menyinari kegelapan malam lebaran.

Aroma masakan dari dapur tercium hingga ke kamar tidur. Aku tersenyum dalam hati. Tanpa melihatpun aku tahu wangi apa ini. Ini wangi opor ayam andalan ibu mertuaku. Sayup-sayup aku mendengar adik iparku bertanya sesuatu pada Ibu. Ibu menjawab dengan nada singkat, dan adik iparku itu pun tertawa kecil. Apapun yang mereka bicarakan aku tak bisa mendengar. Tapi aku tahu, mereka selalu bercanda. Ciri khas dalam keluarga suamiku, bekerja namun tidak melupakan humor sebagai pelepas lelah.

Setiap malam lebaran, inilah yang mereka lakukan tiap tahun. Menyiapkan menu kegemaranku dan anak-anak. Opor ayam, sambal goreng dan rendang. Menu yang menjadi ciri khas penanda kalau menantunya sedang pulang kampung. Setiap kali pulang kampung, suamiku selalu meminta ibunya menyiapkan tiga masakan itu untuk kami. Tapi ibu tak pernah mau kubantu.

“Kau sudah cukup lelah mengurus tiga anakmu. Selama di sini, bersantailah. Ibu dan adik-adikmu yang akan mengurusmu.” Itu kata Ibu beralasan tiap aku bergerak berniat membantunya.

Hanya saja, duduk diam membuatku jadi lebih banyak melamun dibanding beristirahat. Lebaran justru mengingatkanku pada banyak hal. Kerinduanku meluap. Apalagi tiap mencium aroma masakan itu.

Aroma bumbu khas opor yang bercampur santan menyapu lembut hidungku. Mengingatkanku akan masa kecil saat aku menggerutu ketika diminta Mama untuk memarut kelapa selama berjam-jam. Tangan berminyak, serabut kelapa yang berserakan di sekitarku dan ledekan adik-adikku yang terbebas dari tugas wajib itu. Aku hanya bisa menatap iri pada mereka berdua sambil memarut secepat mungkin. Anehnya, meski aku merasa sangat cepat, tapi Mama selalu merasa waktu memarutku selalu terlalu lama.

Lalu setelah tugas itu selesai, lagi-lagi Mama memintaku memotong hati ayam kecil-kecil. Kalau tugas yang satu ini, aku senang sekali. Sesekali satu dua potong masuk ke dalam mulutku dengan bebas. Karena itu aku selalu ingin melakukan tugas besar itu hanya setelah berbuka puasa.

Tapi semua rasa lelah karena tugas itu mendadak menguap tak tersisa ketika Mama menyajikannya di atas meja. Walaupun semua orang memuji kelezatan masakan Mama, aku juga merasa bangga karena telah berkontribusi.

Menikah membuatku memahami beratnya tugas Mama. Untungnya aku mengalaminya ketika banyak mesin-mesin canggih yang membantuku. Sayangnya, bumbu khas masakan Mama tak bisa mengalahkan bumbu masakan buatan instan yang tersebar di mana-mana. Berbagai merek kucoba tapi aroma dan rasa masakan yang kuidamkan itu tak pernah bisa kutemukan. Akhirnya, aku memilih mengintip Mama saat ia menyiapkan bumbu khas masakannya. Kali ini, aku sengaja membantunya memarut kelapa dan memotong sayuran pelengkap agar ada alasanku mencatat setiap detil bumbu-bumbu yang ia gunakan dalam kepalaku.

Tapi, mungkin tangan pembuatnyalah yang akhirnya menjadi alasan mengapa aku masih belum bisa menemukan aroma dan rasa idamanku itu. Bertahun-tahun setelah Mama tiada, aku masih belum bisa membuat rasa yang sama. Sampai akhirnya tradisi lebaranku selalu memasak tiga menu spesial itu. Walaupun tak sama, setidaknya aku ingin mencoba menikmati aroma masakan yang bisa melepaskan kerinduanku. Akibatnya suamiku mengira tiga menu itu adalah menu wajib dalam kebiasaan berlebaranku.

Aku tahu, suamiku dan keluarganya ingin aku merasakan lebaran seakan-akan berada di tengah-tengah keluargaku sendiri. Tapi, bukan itu yang menjadi alasan. Aku rindu pada aroma itu, bukan karena ingin menghilangkan laparku. Aku rindu karena aroma itu mengingatkanku pada saat aku menyiapkannya bersama Mama. Kami saling bercerita, membahas tingkah adik-adik, bercanda tentang kelakuan anak-anakku dan terakhir Mama selalu menitip bermacam pesan untukku. Aku rindu pada rasa masakan itu, karena mengingatkanku pada Papa dan adik-adikku yang selalu menaburkan pujian pada Mama dan aku. Aku rindu pada rasa lelah di kakiku karena berdiri terlalu lama, rasa pegal di tanganku karena bekerja sampai tengah malam dan rasa kantuk di mataku karena tidur hingga larut malam.

Esok pagi, aroma dan rasa masakan itu akan kembali mengingatkanku pada Mama. Walaupun kini aku juga mulai merindukannya karena kini aroma dan rasa masakan itu mengingatkanku tak hanya pada Mama, tapi juga kebiasaanku menyantapnya bersama anak-anak. Memang rasanya tak sama, tapi hidupku juga berubah. Karena rinduku, aku membawa tradisi itu pada anak-anak. Kelak suatu hari, anak-anak juga akan mengenang aroma dan rasa yang sama, mengingatkan mereka pada Emak mereka. Emak yang selalu menahan tangis tiap kali makan di pagi lebaran, dan senyuman yang selalu terukir dengan mata berkaca-kaca. Semoga setiap kali aroma tiga masakan itu menguar di udara, tiap kali lidah kami merasakan kelezatannya, maka saat itu kami selalu bersama. Melepas rasa rindu, melepas semua rasa bersalah dan saling memaafkan.

******

Sumber : http://bundaiin.blogdetik.com/2015/7/3/aroma-masakan-aroma-kerinduan-1
0 0 http://materialize-template-gisariweb.blogspot.com/2016/02/aroma-masakan-aroma-kerinduan.html http://materialize-template-gisariweb.blogspot.com/2016/02/aroma-masakan-aroma-kerinduan.html Tidak ada komentar:

Kamis, 28 Januari 2016

Bu Izinkan Saya Menikah! (2 Tamat)

“Bu! Ibu melamun!” pekikan dan tepukan Farah di pahanya membuat lamunan Lestari terpecah berkeping-keping. Ia tersenyum malu di bawah tatapan keempat anak-anaknya. Mereka tersenyum-senyum melihat Lestari.

“Duh, kalian ini. Jadi lupa deh Ibu tadi mau nanya apa? Tadi sampai di mana obrolan kita, Rid?” tanya Lestari sembari memperbaiki letak duduknya agar lebih nyaman disandari Farah dan Farhan.

Mata Farid bersinar. “Sampai Ibu bilang tidak mengerti.”

Lestari mengangguk-angguk. “Ya, Ibu tidak mengerti. Kenapa alasanmu justru karena pernikahan bukan tentang kebahagiaan semata?”

0 0 http://materialize-template-gisariweb.blogspot.com/2016/02/bu-izinkan-saya-menikah-2-tamat.html http://materialize-template-gisariweb.blogspot.com/2016/02/bu-izinkan-saya-menikah-2-tamat.html Tidak ada komentar:

Rabu, 27 Januari 2016

Bu, Izinkan Saya Menikah! (1)

Jemari Farid mengetuk meja berkali-kali, ketukan dengan nada yang sama juga terdengar dari bawah meja. Itu suara kakinya yang bergerak-gerak tak sadar. Wajahnya sedikit pucat, meski ada senyum tipis tersungging di bibirnya. Walaupun Farid berusaha menutupinya, Lestari tahu ada sesuatu yang membuat pemuda duapuluh lima tahun itu gelisah. Untuk menenangkan pemuda di depannya, Lestari tersenyum padanya.

“Ada apa sih, Aa?” tanya Lestari tenang. Jari-jarinya tetap sibuk menekan keyboard. Ada dokumen yang harus ia selesaikan malam ini juga. Itu juga yang membuatnya tahu kalau Farid sedang ingin bicara padanya. Tiap kali ia bekerja, Farid tak pernah mau mengganggunya kecuali ia sedang benar-benar perlu.

Wajah Farid jelas masih menyiratkan keraguan. Matanya bergerak-gerak gelisah. Lalu terdengar suara tarikan napas panjang sekaligus kata-kata yang meluncur cepat.

0 0 http://materialize-template-gisariweb.blogspot.com/2016/02/bu-izinkan-saya-menikah-1.html http://materialize-template-gisariweb.blogspot.com/2016/02/bu-izinkan-saya-menikah-1.html Tidak ada komentar:

Kontributor